Konon seorang daimyo legendaris Jepang yang bernama Oda Nobunaga pernah melewati sebuah desa yang baru hancur karena perang. Ketika ia melewati sebuah rumah dengan menunggang kuda, ia mendengar suara tangisan anak-anak kecil dari sebuah rumah yang setengah hancur dan setengah terbakar. Suara tangisan yang lirih itu berkata, “Tolong, tolong kami tuan”. Alih-alih membantu, Nobunaga malah terus melewati rumah tersebut sembari berkata kepada anak-anak kecil di rumah tersebut, “Jangan gantungkan dirimu pada orang lain, bangkit dan berdirilah di atas kakimu sendiri kalau kalian ingin terus hidup.” Tanpa disangka, seseorang dari anak tersebut pun bangkit dan menjadi salah satu kaki tangan Oda Nobunaga.
Image Oda Nobunaga
Ya, memang Oda Nobunaga sangat terkenal dengan perbuatannya yang kejam semasa Periode Perang (Warring State Period) pada era Sengoku di Jepang. Dia tidak segan-segan menghabisi lawan-lawannya di medan perang meskipun lawannya tersebut sudah menyerah. Wanita, anak-anak, kaum agama pun tidak segan-segan dihabisinya apabila dianggapnya menghalangi jalannya. Namun demikian, di balik kekejamannya, tidak bisa dipungkiri bahwa dia adalah salah satu pemimpin yang hebat di zamannya. Tidak hanya hebat, iapun juga seorang yang futuristik. Tercatat perang di Jepang pertama yang menggunakan senapan api sebagai salah satu senjata utama adalah saat Nobunaga menjadi pemimpin. Dia jugalah kemungkinan pemimpin Jepang pertama yang paham bahwa bumi itu bulat, ketika pemimpin maupun penduduk Jepang yang lain masih memegang pakem bahwa bumi itu datar. Ia juga salah satu pemimpin yang bertekad untuk menyatukan Jepang ketika kala itu Jepang masih terbagi-bagi kekuasaannya ke dalam klan-klan.
Oda Nobunaga lahir di provinsi Owari (saat ini adalah bagian barat prefektur Aichi). Semasa kecilnya Nobunaga dikenal sebagai anak yang bodoh karena tingkahnya yang aneh. Ketika ia lahir, Owari hanyalah sebuah provinsi kecil yang dikuasai oleh klan Oda. Klan Oda sendiri juga tidak memiliki pengaruh politik yang kuat di Jepang. Namun demikian ketika Nobunaga menjadi pemimpin klan Oda, perlahan-lahan klan Oda memperluas wilayahnya dan meningkatkan pengaruhnya dalam peta politik Jepang. Nobunaga yang semasa kecilnya sering dipanggil “Si Bodoh dari Owari”, ketika dewasa dikenal sebagai seorang pemimpin legendaris yang disemati gelar seperti “Raja Iblis” atau “Raja Merah” karena kekejaman dan kehebatannya.
Salah satu perang penting sekaligus salah satu yang pertama dalam sejarah perang klan Oda di bawah kepemimpinan Nobunaga adalah Perang Okehazama (Battle of Okehazama) antara Klan Imagawa dan Klan Oda. Konon ketika itu jumlah pasukan Nobunaga hanyalah 3.000 orang, di mana pasukan Klan Imagawa yang dipimpin oleh Imagawa Yoshimoto berjumlah 25.000 orang. Sangat timpang. Melihat kenyataan ini bahkan para penasehat perang Nobunaga memberinya saran untuk menyerah daripada tetap berperang.
Namun apa yang terjadi?
Oda Nobunaga ketika itu memilih untuk terus berperang. Dengan strategi yang matang (surprise attack), meskipun hanya bermodalkan tentara yang sedikit, klan Oda memenangi pertempuran dengan klan Imagawa dan bahkan membunuh Imagawa Yoshimoto. Kesuksesan Perang Okehazama ini yang membuat nama Oda Nobunaga pertama kali dikenal oleh seantero Jepang, dan dari perang inilah, kemenangan perang-perang Oda Nobunaga yang berikutnya terjadi.
Kodrat Manusia untuk Memilih
Makhluk hidup, sejak kelahirannya, atau malah sebelum kelahirannya adalah produk dari memilih. Manusia yang lahir pada suatu titik waktu adalah hasil dari sepasang insan yang memilih untuk menjadi pasangan dan bereproduksi. Ketika insan manusia lahir pun, ia akan dihadapkan oleh pilihan-pilihan sepanjang hidupnya. Ia baru akan berhenti memilih ketika ajal sudah menjemputnya.
Sudah pasti setiap pilihan yang dipilih oleh manusia akan menentukan jalan kehidupan manusia tersebut selanjutnya. Setiap jam, menit, bahkan detik dalam kehidupan manusia sesungguhnya adalah untuk memilih. Dan dalam menentukan pilihan, setiap manusia pasti memiliki pendekatan dan alasan yang berbeda-beda. Ya, namanya manusia memang diciptakan memiliki pemikiran yang berbeda-beda.
Hidup adalah pilihan
Pilihan apapun yang dipilih oleh seseorang akan memiliki dampak dan menghasilkan tanggapan yang berbeda menurut orang yang lain. Orang dahulu berkata bahwa tidak ada pilihan yang mutlak benar maupun salah, mutlak baik maupun tidak baik, semua tergantung sudut pandang orang yang melihat. Pendapat ini ada benarnya memang. Namun demikian, jangan lupa bahwa di dalam masyarakat yang beradab terdapat sebuah aturan tertulis maupun tak tertulis, dan juga common sense untuk membimbing manusia ke pilihan yang terbaik untuk dirinya maupun orang lain. Tentu untuk kasus dimana terdapat dua pilihan yang sangat kontras (satu pilihan secara aturan maupun common sense berdampak baik, dan satu lagi berdampak buruk), akan sangat mudah bagi orang tersebut untuk memilih. Yang akan sulit adalah ketika kita dihadapkan oleh pilihan-pilihan yang seluruhnya baik, baik itu melalui caranya, tindakannya, dan sudut pandang tertentu. Di sinilah tingkat kebijakan dan kedewasaan manusia dapat terlihat. Yang paling mudah untuk dijadikan contoh adalah Pemilu Presiden 2014 yang barusan lewat dan sudah menghasilkan presiden ke-7 Republik Indonesia.
Pemilu Presiden 2014 memajukan dua nama besar kandidat presiden, putra terbaik bangsa kita saat ini, yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Tidak bisa dipungkiri bahwa keduanya adalah orang-orang hebat dengan its own way, behavior, and certain point of view masing-masing. Terlepas dari kampanye-kampanye negatif tentang keduanya, tak dapat disangkal keduanya memang luar biasa. Tentunya tidak aneh ketika keduanya memiliki simpatisan yang banyak. Hal ini terlihat dari selisih persentase antara kedua calon presiden yang relatif sangat kecil (6,3%), dimana persentase pemilih Joko Widodo adalah 53,15% dan Prabowo Subianto adalah 46,85%, sehingga KPU pun menetapkan Joko Widodo sebagai presiden Republik Indonesia ke-7 pada tanggal 22 Juli 2014 tempo hari.
Kalau kita melihat selisih persentase yang sedikit ini, tentu terbersit dalam pikiran kita bahwa kedua kandidat sangat pantas menjadi presiden. Namun tetap saja, kita harus memilih dari keduanya, yang secara akhir memang pemilih Joko Widodo lebih banyak dari Prabowo Subianto. Di sinilah kita harus bijak menanggapi hasil pemilihan ini. Sudah barang tentu, untuk pemilih Joko Widodo akan sangat bersorak-sorai. Namun demikian bagaimana dengan pemilih Prabowo Subianto?
Sebelumnya perlu saya sampaikan bahwa saya adalah fans dari kedua kandidat, sehingga saya berpikir siapapun pantas menjadi kepala negara Republik Indonesia.
Sebagai insan yang bijak, dihadapkan dengan fakta bahwa ternyata yang dipilih adalah yang bukan pilihan kita, namun adalah pilihan mayoritas masyarakat lainnya, yang memang juga tidak kalah baik dengan pilihan kita, seharusnya kita tetap menerimanya. Akan sangat tidak bijak dan tidak dewasa ketika apa yang kita pilih ternyata tidak menjadi keputusan akhir. Terlebih lagi apabila kita mencari-cari cara maupun alasan untuk menggagalkan pilihan mayoritas tersebut. Harus tetap ditanamkan dalam pikiran kita bahwa apapun pilihannya, tetaplah baik. Kalau orang di tanah Jawa sering bilang, Legowo. Kita bisa legowo ketika Argentina kalah di piala dunia saja, kenapa tidak bisa ketika Prabowo Subianto tidak terpilih.
Terlihat jelas bahwa untuk memilih jugalah harus diikuti dengan kebijakan, kedewasaan, keikhlasan, dan RESIKO. Ya, resiko.
PLN dan PiLihaN
Ternyata selagi menulis ini saya baru menyadari bahwa PLN bisa juga menjadi kependekan dari PiLihaN. Mungkin memang sejak awal nama PLN secara alami terbentuk karena hasil dari memilih.
Jika kita lihat dari romantisme nama perusahaan kita, siapapun yang berada di PLN memang sudah jalannya untuk menentukan pilihan. Seperti halnya manusia sejak lahir bahkan sebelum lahir harus memilih, demikian juga dengan insan PLN sebelum masuk. Seorang insan tentunya memilih terlebih dahulu untuk masuk ke PLN baru ia akan berusaha untuk masuk ke PLN.
Mematikan lampu juga pilihan lho
Dilema antara pengertian insan PLN masih dapat memilih atau tidak (contohnya saya sendiri) sedikit banyak terjadi ketika seseorang sudah resmi menjadi insan PLN. Sesaat seseorang menjadi pegawai PLN ia akan dihadapkan dengan tanggung jawab yang terlihat fix. Dari tanggung jawab yang fix ini, secara sadar maupun tidak sadar akan membentuk rutinitas pekerjaan. Rutinitas yang semakin tinggi ini terutama untuk orang yang memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi ini akan memunculkan pemikiran, “Damn, I have no choice but finish this job immediately”. Sepertinya tidak ada kesempatan untuk memilih terutama bagi yang diberikan tanggung jawab yang lebih banyak. Namun, benarkah demikian?
Di samping itu terutama untuk insan yang berprestasi, ditunjang dengan kondisi di mana saat ini PLN mengalami penurunan jumlah pegawai yang signifikan akibat pertumbuhan pegawai pensiun yang lebih cepat dibandingkan penerimaan pegawai baru, memaksa insan tersebut, meskipun dengan usia muda dan terlihat seperti dikarbit, untuk mengisi “bangku-bangku” kosong yang ditinggalkan oleh pejabat-pejabat lama. Istilah memaksa di sini terdengar seolah-olah kita tidak diberi pilihan terkait pengisian bangku kosong tersebut. Namun, benarkah demikian?
Dalam skala yang lebih besar lagi, saat ini PLN dituntut untuk mengerjakan apapun dengan metode OPI. Apapun serba OPI. Mencari akar masalah dengan OPI, mencari solusi dengan OPI, bahkan mungkin kalau bisa dikaitkan dengan kehidupan pribadi insan PLN, mencari jodoh pun dengan pendekatan OPI. Seolah-olah tidak ada pilihan lain selain OPI. Namun benarkah demikian?
Sekarang kita kembali lagi bahwa memilih jugalah harus diikuti dengan kebijakan, kedewasaan, dan keikhlasan, dan RESIKO. Dalam memilih juga diikuti dengan pemahaman tentang aturan tertulis dan tak tertulis yang berlaku di masyarakat serta common sense. Untuk keseluruhan kasus di atas dimana sepertinya tidak ada kesempatan untuk memilih terutama bagi yang diberikan tanggung jawab yang lebih banyak, seolah-olah PLN tidak mempunyai pilihan lagi untuk mengisi bangku kosong tersebut, dan seolah-olah tidak ada pilihan lain selain OPI, jika kita renungkan lagi, bisa saja tidak kita lakukan. Sangatlah bisa jika kita memilih untuk tidak ingin diberikan tanggung jawab yang lebih banyak, memilih untuk tidak mau dipaksa mengisi jabatan tertentu, ataupun memilih untuk tidak memakai pendekatan OPI dalam memecahkan suatu masalah. Ya, bisa. Namun tentunya Hal itu semua memiliki resikonya sendiri-sendiri. Ketika kita memilih untuk tidak ingin diberikan tanggung jawab yang lebih banyak, akan muncul resiko prestasi kita dianggap pas-pasan, skill kita tidak berkembang-kembang, dan lain-lain, dan kita harus bisa ikhlas menerimanya. Ketika kita memilih untuk tidak mengisi jabatan yang kosong ketika kita merasa tidak mampu ataupun masih karbitan, resikonya adalah karir yang melambat, serta sudah tentu tingkat kepercayaan orang terutama atasan terhadap kita yang menurun meskipun sedikit, dan kita harus ikhlas menerimanya. Ketika kita tidak menggunakan metode pemecahan masalah dengan OPI, sepertinya dampaknya tidak akan terlalu fatal, namun di tengah komunitas PLN yang saat ini memang menggunakan OPI sebagai tool pemecahan masalah utama yang memang terbukti baik, kita akan ketinggalan dan bisa jadi sulit untuk berkomunikasi dengan yang lain, dan kita harus ikhlas menerimanya.
Itu semua kembali lagi tergantung dari sudut pandang, tingkat kebijakan, dan kedewasaan kita. Apapun yang kita pilih, akan menghasilkan resiko yang berbeda-beda. Namun, ketika terdapat beberapa pilihan dimana ada suatu pilihan terbaik yang harus diselingi dengan usaha, mengapa kita tidak mengambilnya. Oke, satu hal lagi yang harus diikuti dalam memilih, yaitu USAHA. Tanpa usaha, pilihan sulit yang harus kita pilih akan tetap menjadi sulit. Seperti halnya contoh di atas, apabila kita memilih untuk memiliki menjadi pejabat yang baik di usia muda yang kurang pengalaman, kita harus berusaha untuk terus belajar, sehingga pada akhirnya kita akan merasa pantas dengan pilihan kita.
Selalu akan ada pilihan-pilihan selama kita masih berada di PLN.
So?
Kebijakan, kedewasaan, keihlasan, usaha, dan resiko. Menurut saya kelima hal inilah yang harus dimiliki insan PLN dalam menentukan suatu pilihan. Apabila kita mampu memposisikan kelima hal di atas dengan baik dan benar, kelak tidak akan pernah muncul situasi seolah-olah tidak ada pilihan, no choice. Pilihan akan selalu ada buat kita, namun tentunya dengan dampak dan resiko yang berbeda-beda. Bayangkan ketika Oda Nobunaga memilih untuk tidak melanjutkan perang Okehazama, mungkin dia tidak akan menjadi salah satu pemimpin Jepang legendaris. Bayangkan ketika para pemuda Indonesia tidak memilih untuk menculik Soekarno ke Rengasdengklok, mungkin RI akan lebih lama merdeka.
Ketika menulis artikel ini saya berkali-kali salah mengetik kata “benarkah” menjadi “benarkan”. Kalau kita simak baik-baik, perubahan satu huruf di akhir saja ternyata berpengaruh besar terhadap artinya. Lagi-lagi ini adalah pilihan, pilihan kata mana yang paling tepat, benarkan?
“For whatsoever a man soweth, that shall he also reap” – Galatians 6:7